Narasita.com- Palu, – Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan di Desa Pakuli Utara, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyita perhatian publik. Kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota keluarga dekat ini menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual dapat berasal dari lingkungan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak.

Organisasi advokasi perempuan, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST), mendesak Polda Sulawesi Tengah untuk menerapkan proses hukum maksimal terhadap para pelaku, termasuk mempertimbangkan hukuman kebiri kimia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Kasus ini memperlihatkan bentuk paling rentan dari kekerasan seksual, yakni ketika pelaku adalah orang terdekat yang memiliki relasi kuasa dan kepercayaan terhadap korban,” ujar Ketua KPKPST, Soraya Sultan, dalam pernyataan tertulis, Rabu (28/5/2025).

Ketiga korban masing-masing berusia 6, 12, dan 15 tahun, diasuh oleh nenek mereka lantaran ibunya bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. Berdasarkan pengakuan korban, tindakan kekerasan dilakukan berulang kali oleh kakek dan paman mereka.

Laporan resmi disampaikan ke Polda Sulawesi Tengah pada Jumat, 23 Mei 2025, oleh keluarga korban dengan didampingi relawan dari Sikola Mombine, Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah, serta perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sigi.

KPKPST mendesak agar proses hukum mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hukuman kebiri kimia, menurut KPKPST, perlu dipertimbangkan sebagai langkah pencegahan dan perlindungan terhadap anak di masa mendatang.

KPKPST juga meminta UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A Provinsi Sulawesi Tengah untuk memperkuat koordinasi dengan DP3A Kabupaten Sigi dan Kota Palu, mengingat dugaan kekerasan berlangsung di dua wilayah administratif.

“Selain penegakan hukum, aspek pemulihan psikologis dan sosial anak-anak korban kekerasan perlu menjadi prioritas bersama. Kami berharap pemerintah daerah memberikan dukungan komprehensif agar korban dapat kembali menjalani kehidupan dengan aman dan bermartabat,” kata Soraya.

Menurutnya, kasus ini menjadi cerminan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi perempuan, khususnya perempuan dalam situasi rentan. Ketika peran ganda sebagai pengasuh dan pencari nafkah harus dijalani, perempuan sering kali terpaksa mempercayakan anak pada kerabat. Sayangnya, dalam kasus ini, kepercayaan tersebut disalahgunakan.

KPKPST bersama jaringan Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah berkomitmen terus mengawal jalannya proses hukum serta memastikan korban mendapatkan layanan pemulihan yang layak, baik secara psikologis, sosial, maupun kesehatan reproduksi.