Narasita.com-Palu-Gugatan Praperadilan terhadap Polres Kota Palu diajukan salah seorang warga di jalan Cut Nyak Dien, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, Sulawesi Tengah. Praperadilan dimohonkan atas penghentian penyidikan perkara penyerobotan tanah milik Edi Hasan.

Edi Hasan sebagai Pemohon, melalui kuasa hukumnya Gaspar M Lamapaha bersama timnya, telah mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Polres Kota Palu atas penghentian penyidikan perkara penyerobotan tanah miliknya oleh bangunan kepunyaan Andreas.

Edi Hasan terpaksa harus menempuh jalur hukum setelah sebagian kecil tanah miliknya diambil oleh Andreas, dan didirikan bangunan dengan tembok permanen, menyebabkan tembok rumah keduanya berdempetan sehingga bagian belakang rumah Edi Hasan menjadi pengap karena sirkulasi udara terganggu.

Berdasarkan surat ukur tanah yang dikeluarkan BPN, menunjukkan batas tanah yang jelas dengan lebar 80 Centimeter dan 35 Centimeter sepanjang 11 meter adalah termasuk milik Edi Hasan yang ditentukan dalam sertifikat tanah miliknya.

“Sebenarnya ini bukan mengenai ukuran, tapi karena klien kami merasa ditantang setelah haknya diambil. Ujungnya berdampak pada penghentian perkara,” ujar Gaspar Senin (3/2).

Menurutnya, perkara tersebut sebenarnya tidak akan muncul kalau pelaku penyerobotan, menyadari dan meminta maaf atas kesalahannya serta mau menyelesaikan dengan cara baik-baik sedari awal saat pembangunan dilakukan.

“Tapi yang terjadi klien kami justru ditantang. Pelaku bilang silahkan lapor polisi sampai ke pengadilan, bawa semua bukti-buktimu,” kata Gaspar.

Tantangan itulah yang membuat Pemohon berupaya untuk mendapatkan kembali haknya, sekalipun proses hukumnya terbilang panjang, dan telah memakan waktu hingga dua tahun lamanya, karena sempat diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Gaspar menyebutkan, intinya permohonan praperadilan tetap pada dalil permohonan penghentian penyidikan atau SP3 tersebut yang diterbitkan dan dinilai cacat hukum.

“Kami optimis apa yang kami dalilkan, bisa kami buktikan,” sebut Gaspar.

Melalui sidang Praperadilan yang digelar Pengadilan Negeri Kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu, pada Senin (3/2), Pemohon mengajukan Saksi Ahli dari Fakultas Hukum Pidana Universitas Islam Yogyakarta (UIY), Prof. Muzakkir.

Melalui penyampaiannya dihadapan Majelis Hakim, Prof. Muzakkir berpendapat tidak ada sengketa perdata, melainkan masuk perkara pidana bila telah melampaui batas.

“Sengketa keperdataan itu nggak ada, karena sama-sama masing-masing punya sertifikat hak milik dan yang kedua punya sertifikat ukur dan itu tidak tumpang tindih. Masing-masing punya hak dalam lokasi di tempat mana yang bersangkutan. Artinya apa? Bukan sengketa perdata,” tandas Muzakkir.

Guru Besar yang merupakan jebolan Universitas Indonesia itu menjelaskan, karena batasnya jelas dan sudah diakui oleh BPN dalam surat ukur yang dimaksud, maka pembangunan tembok yang melampaui batas membangun namanya masuk perkara pidana.

“Itulah dalam bahasa hukum pidana disebut sebagai penyerobotan tanah orang lain,” tutur Muzakkir.

Dirinya berpendapat perbuatan tersebut memang memenuhi unsur pasal 167 KUHPidana. Sehingga dengan demikian, tidak ada alasan menghentikan penyidikan.

Dalam sidang Praperadilan itu juga, kuasa hukum Pemohon menghadirkan saksi dari ATR/BPN Palu, Rexi Tandi dan Moh Kasim. Dalam kesaksiannya mereka menyampaikan telah melakukan pengembalian batas ke sertifikat awal, dan sudah pernah disepakati oleh para kedua pihak dan pihak terkait lainnya.

Hasilnya tidak terjadi tumpang tindih sertifikat, melainkan ada kelebihan penguasaan. Dan berita acara hasil pengembalian batas tersebut, bersama sejumlah dokumentasi lainnya juga telah diserahkan kepada Penyidik. (non)