narasita.com – PALU – Solidaritas Perempuan (SP) Palu selama 3 tahun terakhir mendampingi sebanyak 17 kasus Perempuan Pekerja Migran, yang teridentifikasi merupakan kasus Tindakan Pidana Perdagangan (TPPO).

Sayangnya penanganan kasus TPPO kebanyakan hanya berakhir pada proses penanganan kasus non litigasi. SP Palu mengalami tantangan untuk meneruskan ke proses hukum, karena kebanyakan korban merasa tidak penting untuk melaporkan kasus TPPO yang dia alami ke kepolisian, mereka merasa cukup atas kepulangan mereka dengan selamat, mereka menganggap jika diteruskan ke ranah kepolisian akan menguras tenaga, waktu, serta keuangan.

Menurut Safriana, Staf perlindungan perempuan buruh migran Solidaritas Perempuan Palu, pihaknya saat ini dengan konsen mendampingi perempuan pekerja migran di Kota Palu.

“Hampir semua korban merasa puas jika mereka telah kembali ke kampung halaman dalam keadaan sehat,” ujar Safriana.

Bahkan walaupun jika secara psikologi mereka mengalami tekanan dan trauma atas kekerasan dan berbagai ketidakadilan yang mereka dapatkan selama proses keberangkatan dan di negara penempatan kerja.

Pemberangkatan secara unprosedural atau tidak tercatat di pemerintah ini, sulit untuk diatasi meskipun di Sulawesi Tengah sendiri ada badan khusus yang menangani Perlindungan Perempuan Buruh Migran seperti BP3MI Sulteng, yang sudah bekerja keras.

Di wilayah Kabupaten Sigi juga ada Dinas Ketenagakerjaan dan Dinas Sosial yang juga bahu membahu aktif mengedukasi masyarakat, agar memilih bekerja ke luar negeri secara prosedural.

Maraknya pemberangkatan unprosedural terbukti dengan banyaknya unprosedural kasus yang dirujuk ke SP Palu seperti yang terjadi baru-baru ini pada kasus yang dialami oleh AR warga kota Palu. AR lari dari rumah tampungan agen tanpa info nama Perusahaan resmi di Surabaya. Setelah kasus AR disusul dengan pelaporan 2 kasus warga Desa Guntarano, Kabupaten Donggala inisial Rn dan Sr, yang sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, hendak lepas landas menuju Saudi Arabia, tetapi kedua korban memutuskan untuk “kabur”, karena korban sempat mendengar percakapan petugas agen di rumah penampungan bahwa pemberangkatan mereka ini dilakukan secara ilegal, atau non prosedural.

Kondisi banyaknya pemberangkatan secara unprosedural ini semakin diperparah dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada pekerja migran Indonesia, alih-alih membuka peluang untuk bekerja ke luar negeri, pemerintah melalui kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan Nomor 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah tidak dibarengi dengan peluang kerja yang luas di dalam negeri, khususnya bagi perempuan yang telah berkeluarga dan pendidikanya di bawah SMA sederajat, minimnya informasi dari pemerintah di desa juga menjadi faktor utama maraknya pemberangkatan secara -unprosedural, ditambah lagi banyaknya calo-calo yang aktif mendatangi calon perempuan pekerja migran secara langsung dan memberikan iming-iming, mudahnya penerbitan visa PLRT di beberapa perwakilan negara Kawasan Timur Tengah di Jakarta, serta adanya skema satu kanal yang dimanfaatkan oleh calo untuk menipu dan merekrut pekerja migran Indonesia secara non prosedural.

Pada situasi lainnya bahwa adanya sistem satu kanal yang tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat mengakibat sistem satu kanal ini dimanfaatkan oleh calo-calo untuk merekrut dengan menipu karena masyarakat mengira bahwa kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan Nomor 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah telah cabut.

Kemudian lemahnya proteksi pemerintah desa karena tidak melakukan verifikasi data calon pekerja migran secara maksimal, kurangnya memberikan informasi lowongan pekerjaan resmi di luar negeri kepada masyarakat. Serta karena pemerintah kabupaten Sigi belum mengimplementasikan Peraturan Daerah Kabupaten Sigi nomor 1 tahun 2022 tentang Pelindungan Pekerja Migran.

Berdasarkan situasi maraknya pemberangkatan secara unprosedural tersebut maka perempuan bersama SP Palu menuntut :

  1. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk memaksimalkan pendidikan dan pelatihan vokasi untuk calon pekerja migran sesuai kebutuhan perempuan pada bidang pekerjaan formal.
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya menyediakan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) sesuai dengan Undang-undang nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Daerah Kabupaten Sigi nomor 1 tahun 2022 tentang Pelindungan Pekerja Migran.
  3. Pemerintah desa untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memberikan informasi kepada masyarakat mengenai lowongan pekerjaan di luar negeri, memverifikasi data calon pekerja migran serta melakukan pemantauan keberangkatan pekerja migran sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sigi nomor 1 tahun 2022 tentang Pelindungan Pekerja Migran.
  4. Pihak Kepolisian harus memberikan Sanksi tegas kepada para calo yang memberangkatkan PMI secara unprosedural. (non)